BAJAUINDONESIA.COM, KUPANG – Sikap anti kritik yang diduga ditunjukkan oleh Bupati Kupang, Yosef Lede, menjadi perhatian serius dalam dialog kebangsaan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dan Gerakan Mahasiswa Flobamora (GMF). Diskusi yang melibatkan 25 organisasi kepemudaan (OKP) dan organisasi mahasiswa (Ormawa) kampus ini menyoroti berbagai isu kedaerahan, dengan isu terkait Pulau Kera menjadi pembahasan yang mendalam.
Dalam dialog yang berlangsung pada Kamis (24/04/2025) di aula rektorat Undana Kupang, peserta diskusi mempertanyakan sikap pemerintah daerah terhadap warga di Pulau Kera baru-baru ini.
Menanggapi hal tersebut, salah satu narasumber, Yohanes Jimi Nami, menegaskan bahwa seorang pejabat publik tidak sepatutnya bersikap anti kritik.
“Apalagi isu yang di Pulau Kera, beredar di media Bupati Kupang anti kritik. Yang model begini kita doakan supaya periodesasinya cepat berakhir, karena kita tidak diberi ruang untuk menuntut pemerintah yang anti kritik. Kalau dia anti kritik, berarti dia tidak mau berbenah diri,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua GMF, Melianus Alopada, usai dialog publik menyampaikan kepada media bahwa sikap Bupati Kupang yang diduga anti kritik dan arogan berpotensi merusak psikologi warga Kabupaten Kupang, terutama dengan membawa-bawa nama Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Menurut Melianus, yang akrab disapa Mel, seharusnya pemerintah daerah menggunakan pendekatan yang lebih persuasif dalam menyosialisasikan konsep pembangunan di Pulau Kera. “Yah, Pak Bupati harus rubah pola pendekatan. Apa pun alasannya, warga yang ada di Pulau Kera juga adalah manusia, bukan saja itu, mereka manusia yang juga adalah warga negara Indonesia, artinya punya hak asasi manusia,” tuturnya.
Lebih lanjut, Melianus menyoroti kehadiran Bupati Kupang di tengah warga Pulau Kera yang dianggap bukan sebagai Yosef Lede secara pribadi, melainkan sebagai representasi pemerintah daerah. Hal ini dapat menimbulkan tekanan psikologis ketika pernyataan yang dilontarkan bernuansa intimidatif, meskipun secara verbal.
“Sebagai bupati, kalau berkunjung ke suatu kampung itu menjadi kehormatan bagi warga setempat. Namun, ketika hadir dan melakukan tindakan yang arogan, warga akan sangat merasa terhina. Hari ini terjadi di Pulau Kera, kita tidak tahu besok atau lusa bisa saja terjadi di tempat lain sehingga perlu dikritisi agar bisa mengedepankan pola pendekatan yang lebih humanis sebagai orang nomor satu di Kabupaten Kupang. Ini tadi jadi pembahasan serius,” beber Ketua GMF.
Melianus juga mengungkapkan bahwa hasil dialog ini akan disampaikan kepada pemerintah provinsi untuk dievaluasi, termasuk pola komunikasi publik pemerintah daerah.
“Ada beberapa isu yang kami bahas, kami kemas dalam bentuk petisi untuk dibawa ke Gubernur NTT dan Ombudsman dalam waktu yang tidak terlalu lama, termasuk soal pola pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan warga, karena tentu dengan tegas kita menolak pemerintah yang arogan dan anti kritik,” tegasnya.
Selain isu anti kritik, efisiensi anggaran daerah juga menjadi perhatian utama dalam dialog tersebut. Melianus Alopada menyoroti adanya kesan bahwa beberapa kepala daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) terkesan mengabaikan instruksi pemerintah pusat.
“Sebab terkesan ada kepala daerah yang membangkang terhadap instruksi pemerintah pusat, karena merasa punya kedekatan dengan partai penguasa atau orang nomor satu di bangsa ini sehingga mengelola anggaran tanpa melihat situasi dan kondisi serta mekanisme,” pungkasnya.
GMF berencana membawa petisi hasil dialog ini kepada Pemerintah Provinsi NTT dan DPRD NTT dalam waktu dekat untuk mendorong evaluasi terhadap kinerja dan pola komunikasi pemerintah daerah di Kabupaten Kupang.