Berita, NTT  

Masyarakat Adat Pulau Kera Tolak Relokasi, Soroti Dugaan Kerusakan Situs Leluhur Akibat Proyek Resort

BAJAUINDONESIA.COM, KUPANG – Gelombang penolakan terhadap rencana relokasi dan pembangunan resort mewah di Pulau Kera, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, semakin menguat. Masyarakat adat Pulau Kera, yang telah menghuni pulau tersebut sejak tahun 1884, menggelar konferensi pers (konpers) pada Senin, 5 Mei 2025 di Resto Celebes, Kota Kupang untuk menyampaikan fakta dan tuntutan mereka terkait polemik yang tengah berlangsung.

Dengan nada tegas, Muhamad Syukur, perwakilan Perkumpulan Orang Same Bajo Indonesia, membuka konferensi pers dengan menyayangkan informasi yang beredar selama ini.

“Ini bukan sekadar pemindahan lokasi, ini tentang kehidupan, mata pencaharian, warisan budaya, dan hak asasi manusia,” ujarnya, yang juga tokoh pemuda Pulau Kera menekankan bahwa isu ini perlu dilihat secara adil dan bertanggung jawab dengan informasi yang akurat.

Sementara itu, Hamdan Saba, Ketua RW 13 sekaligus perwakilan masyarakat Pulau Kera, membacakan pernyataan sikap yang berisi serangkaian poin penting. Poin pertama menyoroti akar sejarah dan keterikatan mendalam masyarakat Pulau Kera dengan leluhur mereka, Almarhum Jumila, seorang tokoh suku Bajo yang pertama kali mendiami pulau tersebut 141 tahun silam. Keberadaan makam leluhur menjadi simbol kuat klaim mereka atas pulau tersebut.

“Kami merasa terhina dan terluka apabila Pulau Kera yang dihuni pertama kali oleh leluhur kami tidak dihargai dan diinjak-injak,” tegas Hamdan Saba, merujuk pada pembangunan 20 villa (Pitoby Raya Resort) oleh Pitoby Grup yang dinilai dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat adat. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menjaga warisan leluhur dari potensi pengrusakan situs sejarah dan budaya akibat aktivitas pembangunan yang tidak melibatkan mereka.

Dalam pernyataan sikap tersebut juga menyoroti perkawinan silang antara leluhur mereka dengan suku Timor (Helong) dan Rote Ndao, yang semakin memperkuat identitas sosial budaya masyarakat Pulau Kera sebagai bagian integral dari Nusa Tenggara Timur.

Atas hal itu, rencana relokasi dikecam keras karena dianggap sebagai upaya menghilangkan identitas dan memperlakukan mereka secara tidak adil dan diskriminatif. “Kami mengecam keras rencana relokasi warga Pulau Kera ke tempat lain dengan apapun alasannya,” imbuh Hamdan Saba.

BACA JUGA:  Tidak Terima Dihina, Masyarakat Bajau Torosiaje Melakukan Aksi Mendatangi Kantor Desa

Lebih lanjut, masyarakat adat Pulau Kera menegaskan hak kepemilikan tanah secara turun-temurun melalui hibah wasiat dan restu dari Raja Nisnoni (Raja Kupang). Mereka menolak anggapan sebagai orang asing dan menekankan status mereka sebagai warga negara Indonesia yang sah.

Tuntutan untuk menghentikan intimidasi dan aktivitas pembangunan oleh Pitoby Grup tanpa musyawarah juga menjadi poin sentral. “Olehnya hentikan segala intimidasi, hentikan segala rencana relokasi, hentikan segala aktivitas diatas tanah leluhur kami oleh Pitoby Grup yang dilakukan tanpa musyawara, diskusi dan ataupun dialog dengan kami,” seru Hamdan Saba.

Untuk menjaga kondusivitas dan kelestarian Pulau Kera yang kaya akan keindahan alam dan biota laut, masyarakat adat menolak segala bentuk intimidasi hingga adanya penyelesaian masalah yang baik. Mereka bahkan menyatakan akan mempertahankan hak mereka dan tidak tunduk pada izin pembangunan yang dikeluarkan tanpa persetujuan mereka, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Siapa-siapa yang mengeluarkan ijin kepada Pitobi Grup untuk membangun diatas tanah leluhur kami tanpa musyawarah, tanpa ijin warga masyarakat Pulau Kera akan kami lawan dan menolak sesuai Peraturan Perundang undangan yang berlaku. Kami minta kepada pihak berwenang segera menghetikan kegiatan Pitoby Grup diatas tanah leluhur kami, kami siap mati diatas tanah leluhur kami,” tegas pernyataan sikap tersebut.

Masyarakat adat Pulau Kera juga menyoroti tugas negara untuk melindungi, bukan mengusir atau menghancurkan tatanan adat dan sosial. Mereka mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan aktivitas Pitoby Grup, terutama setelah adanya dugaan pembongkaran pekuburan tua leluhur mereka.

“Kegiatan tersebut tidak membanggakan masyarakat Pulau Kera tetapi justru merusak atau menghancurkan tatanan adat dan budaya, karena telah terjadi pembongkaran pekuburan tua milik leluhur kami yang diduga dilakukan oleh Pitoby Grup,” ungkap pernyataan tersebut, sembari menyebutkan bukti-bukti yang mereka miliki, termasuk pengakuan tokoh adat dan peninggalan sejarah.

BACA JUGA:  Sejarah Nama dan Bahasa Sapeken Sumenep Jawa Timur

Sementara terkait sertifikat tanah, mereka berpandangan bahwa itu adalah hak, bukan kewajiban, dan ketiadaan sertifikat tidak menghapus hak milik mereka. Alih-alih villa dan resort, masyarakat Pulau Kera justru membutuhkan sarana prasarana pendidikan yang memadai, air bersih, listrik, layanan kesehatan, dan pencatatan kependudukan.

“Kami masyarakat Pulau Kera tidak membutuhkan Villa, Bar, dan Resto tapi kami butuh sarana prasarana pendidikan yang memadai untuk menjawab impian anak-anak kami, kami butuh air bersih, listrik untuk penerangan, layanan kesehatan berupa Pustu, Posyandu atau Puskesmas, pencatatan kependudukan yang menjadi kewajiban negara kepada setiap warga negara termasuk warga negara masyarakat penghuni Pulau Kera,” demikian bunyi salah satu poin tuntutan.

Selain itu, komitmen untuk menjaga kelestarian alam Pulau Kera juga ditekankan. Mereka menolak model pembangunan yang merusak adat dan budaya, dan bahkan siap melakukan sumpah adat sebagai bentuk penegasan klaim mereka sebagai penghuni pertama.

Pernyataan sikap juga menyoroti potensi strategis Pulau Kera secara geografis dan ekonomi, yang bisa dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas, bukan hanya perusahaan swasta. Mereka menilai bahwa negara hanya mendapatkan pajak dari investasi swasta, sementara keuntungan sepenuhnya dinikmati oleh pihak pengembang.

Sebagai bagian dari masyarakat adat Indonesia, masyarakat Pulau Kera memandang tanah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas mereka. Mereka berhak mengelola ruang hidup mereka tanpa merusak tatanan adat, budaya, dan sosial yang telah lama terbangun.

Data kependudukan Pulau Kera juga dipaparkan, menunjukkan adanya 88 Kepala Keluarga dengan 500 jiwa yang terdata, memiliki fasilitas pendidikan seperti Madrasah Ibtidiyah Negeri dan Taman Pendidikan Alqur’an, serta sarana ibadah. Hal ini membantah narasi bahwa pulau tersebut tidak berpenghuni atau terisolir.

Ironisnya, di tengah potensi pulau dan keberadaan fasilitas pendidikan, masyarakat Pulau Kera digambarkan sebagai masyarakat miskin dan hidup terisolir dengan keterbatasan akses terhadap berbagai kebutuhan dasar. Mereka berharap pembangunan yang dilakukan pemerintah dapat memberikan aset dan meningkatkan taraf hidup mereka, bukan justru menggusur dan menghilangkan mata pencaharian.

BACA JUGA:  Warga Pulau Kera akan Direlokasi Paksa, Anggota DPR RI Asal NTT Beri Tanggapan Serius

Mengakhiri pernyataan sikap, masyarakat adat Pulau Kera mengajukan delapan tuntutan konkret, termasuk penghentian rencana relokasi dan pembangunan villa, pengakuan hak-hak masyarakat adat, pelibatan masyarakat dalam setiap rencana pembangunan, fasilitasi Program Nasional Agraria (PRONA), dan penghentian aktivitas PT Pitoby Grup oleh pihak berwenang. Mereka juga meminta penyelidikan atas dugaan perusakan kuburan leluhur dan praktik KKN dalam perizinan proyek resort.

Terakhir, mereka mendesak pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti air bersih, sarana pendidikan dan kesehatan yang layak, listrik, dan dermaga. Masyarakat adat Pulau Kera juga menyatakan kesediaan untuk berdialog dengan pemerintah dan PT Pitoby Grup dengan difasilitasi oleh mediator independen seperti KOMNAS HAM, demi mencari solusi yang adil dan menghormati hak-hak mereka serta warisan budaya leluhur.

Dalam jumpa pers tersebut, hadir beberapa tokoh penting, antara lain: Abdullah Sapar-Dethan, keturunan langsung almarhum Jumila yang merupakan penghuni pertama Pulau Kera sejak tahun 1884, Arsyad Abdul Latif, Imam Masjid Pulau Kera, dan Muhamad Syukur, Ketua Dewan Pimpinan Anak Cabang (DPAC) Perkumpulan Orang Same Bajo Indonesia Pulau Kera.

error: Content is protected !!