Gelombang kecemasan kini menyelimuti warga Pulau Kera. Pulau yang dihuni suku Bajau ini telah berdiri kokoh selama lebih dari seabad di wilayah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pasalnya, Bupati Kabupaten Kupang, Yosef Lede, diduga kuat melontarkan serangkaian ancaman mengerikan, memaksa warga untuk segera angkat kaki dari Pulau Kera yang merupakan tempat hidup dan sumber penghidupan mereka sebagai nelayan.
Dalam pernyataan yang terekam oleh warga setempat, Yosef Lede dengan nada tinggi dan penuh intimidasi secara eksplisit mengancam akan mengerahkan aparat dalam jumlah besar, lengkap dengan alat berat, untuk meratakan permukiman warga jika perintah relokasi tidak segera dipatuhi.
Peristiwa yang menggemparkan warga ini diduga terjadi pada Rabu, 16 April 2025, di Desa Pantulan, Kecamatan Sulamu, saat Bupati Yosef Lede berinteraksi dengan sejumlah aparat desa.
Dalam kesempatan tersebut, Bupati dengan penuh semangat menyampaikan ultimatumnya. “Beta akan bawa pasukan lima trek, Beta akan bawa eksa dan beta akan garuk sampai rata,” demikian ancaman eksplisit yang diduga dilontarkan oleh Yosef Lede, menggambarkan dengan jelas niat untuk menghancurkan rumah dan kehidupan warga suku Bajau Pulau Kera secara paksa.
Lebih lanjut, Yosef Lede mencoba melegitimasi tindakannya dengan mengklaim bahwa perintah relokasi ini merupakan instruksi langsung dari Presiden Republik Indonesia terkait dengan pengambilalihan seluruh kawasan Hak Guna Usaha (HGU).
“Ini perintah langsung presiden, bukan perintah orang lain. Saya dipanggil langsung dan ditelepon langsung presiden, seluruh HGU diambil kembali,” ujarnya dengan nada terkesan otoriter.
Ia bahkan menambahkan dengan emosional, “Dan itu tanah negara, jagan halang, kalau halang orang tidak percaya, beta menangis,” seolah mencoba memanipulasi sentimen untuk memuluskan rencananya.
Ironisnya, di tengah retorika tentang perintah presiden dan tanah negara, Yosef Lede justru menunjukkan sikap intoleran dan anti-empati terhadap pihak-pihak yang mencoba memberikan dukungan kepada warga Pulau Kera. Ia secara terbuka mengecam setiap individu yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Kupang dan menunjukkan solidaritas terhadap komunitas yang terancam ini.
“Yang tidak ada KTP Kupang, suruh pulang, pulang. Beta kasih tahu memang, jangan macam-macam, kalau beta sudah kasih ingat baik-baik jangan cari gara-gara,” ancamnya dengan nada diskriminatif dan mengabaikan hak asasi manusia untuk memberikan bantuan dan dukungan.
Di balik ancaman yang membekukan hati, terselip pula narasi yang mencoba menampilkan sisi “baik” dari rencana relokasi tersebut. Yosef Lede mencoba meyakinkan bahwa pemerintah daerah memiliki niat untuk menempatkan warga di lokasi dengan fasilitas yang lebih baik, sesuai dengan mata pencaharian mereka.
“Kalau masih mau urus baik-baik, dengar! Katong cari tempat yang baik, katong tau dong punya mata pencaharian model bagaimana, katong taruh di tempat fasilitas yang baik, dong punya hidup akan jadi lebih baik,” ucapnya, sebuah janji yang terasa hambar di tengah ancaman keKeerasan yang baru saja dilontarkan.
Ultimatum yang diberikan Yosef Lede sangat jelas dan tidak memberikan ruang untuk negosiasi yang setara.
“Jadi beta kasih ingat baik-baik, tiga minggu dari sekarang kalau tidak ada kesepakatan, kita sapuh sampai rata! Kalau beta su omong seperti ini, keinginannya su jelas, jelas sekali,” tegasnya, menutup rapat-rapat harapan akan dialog yang konstruktif.
Lebih lanjut, Yosef Lede bahkan mencoba merendahkan otoritas pemerintah provinsi dengan mengatakan, “Coba perintah gubernur, katong masih telan ludah, ini perintah presiden,” ucapnya menunjukkan arogansi kekuasaan dan ketidakpedulian terhadap hierarki pemerintahan daerah.
Ia kembali menegaskan tekadnya dengan ancaman implisit, “Kalau mau baik-baik, mari katong urus, kalau sonde mau nanti beta buktikan.”
Alasan formal yang dikemukakan oleh Bupati Kupang terkait relokasi ini adalah bahwa sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Pulau Keera termasuk dalam kawasan wisata dan bukan daerah permukiman.
“Beta kasih ingat saja, sonde mau dengar yah sudah,” ujarnya, seolah mengabaikan fakta bahwa warga telah hidup dan bergenerasi di pulau tersebut jauh sebelum adanya penetapan RTRW.
Sebagai langkah lebih lanjut untuk merealisasikan rencananya, Yosef Lede menyatakan akan mengirimkan surat kepada camat dan lurah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Namun, di tengah ancaman kekerasan dan pengusiran paksa, upaya sosialisasi ini justru terasa seperti formalitas belaka, tanpa memberikan ruang yang sesungguhnya bagi partisipasi dan persetujuan warga.
Pernyataan yang paling mengkhawatirkan dan menunjukkan watak represif adalah ketika Yosef Lede secara eksplisit mengancam warga pendatang yang mencoba bersuara atau memberikan dukungan kepada warga Pulau Kera.
“Dan itu yang sonde ada KTP Kupang jangan coba-coba baomong, beta kasih turun mandi di laut sana,” ancamnya, sebuah pernyataan yang tidak hanya intimidatif tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan di depan hukum.
Tidak berhenti di situ, Yosef Lede bahkan berencana untuk turun langsung ke Pulau Keera setelah perayaan Paskah minggu depan.
Lebih jauh lagi, ia menyatakan akan berkoordinasi dengan Komandan Batalyon Infanteri (Danyonif) untuk mengerahkan pasukan sebanyak dua truk. Rencana pengerahan aparat militer ini semakin memperkuat kesan bahwa pemerintah daerah lebih memilih pendekatan keKeerasan dan intimidasi daripada dialog yang humanis dan solutif.
Menanggapi sikap Bupati Kupang yang terekam kamera video warga tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Orang SameBajauIndonesia (POSBI) Erni Bajau, di Jakarta, menyesalkan sikap BKetua Umum Perkumpulan Orang SameBajauIndonesia (POSBI) Bupati.
“Kami orang Bajo seluruh Indonesia mengecam dan menyayangkan kalimat arogansi Bupati Kupang dan terkesan premanismee.Kan ada pendekatan yang lebih bijakdan lebih manusiawi dari pada kata-kata mau sapu rata warga pulau Kera”
Erni Bajau, lebih lanjut mengungkapkan bahwa ia meragukan kata-kata Yosef Lede yang mengatakan bahwa itu perintah langsung dari Presiden.
“Untuk memastikan ucapan BupatiKupang tersebut, saya dan teman-teman dari POSBI akan mengkonfirmasi kebenarannya kami akan ke Kantor Staf Kepresidenan di Istana Negara di Jakarta, kami akan mengirim surat ke Bapak Presiden dan meminta solusi untuk masyarakat Bajau Pulau Kera.” Pungkas Erni Bajau
Jurnalis: Nino Ninmusu
Editor: Nino Ninmusu