Bajauindonesia.com, Sapeken- Suku bajo atau same menurut beberapa keterangan adalah suku yang tinggal terpencar di berbagai tempat di daerah Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sumatra bahkan ada yang tinggal di Malaysia dan Philipina.
Di daerah sulawesi dan di daerah nusa tenggara mereka terdapat di sulawesi utara, sulawesi tenggara, Labuan Bajo, pulau Kera, dan daerah Sumbawa.
Suku bajo salah satu suku di Indonesia yang sangat menguasai secara kompleks masalah kelautan.
Mereka sangat terampil mengetahui ilmu kelautan tradisional mulai dari ilmu membuat perahu dalam ukuran kecil disebut lelepe dan dalam ukuran besar disebut bidok, mengetahui gejala pasang surut air laut, menaksir kedalaman laut, mempunyai ketrampilan berlayar dengan menghadang ombak yang besar dan ganas di lautan luas sampai dengan ilmu perbintangan yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi.
Ini dapat dipahami karena suku bajo awal dulu hidup dan menetap di laut.
Dalam literature katagori sosial suku bajo, diketahui bahwa suku bajo mencakup bajo laut dan bajo darat.
Bajo laut sangat tergantung dengan laut bahkan mereka menjalani kehidupan mulai dari melahirkan, bekerja, dan menjalani aktifitas lain, sampai dengan meninggal tetap berada di laut dengan menggunakan perahu-perahu. Sedangkan suku bajo yang sudah hidup dan menetap di darat disebut suku bajo darat.
Bajo darat adalah suku bajo yang sudah tidak tergantung sepenuhnya dengan laut mereka telah menetap dan memiliki rumah di darat, laut hanya sebagai lahan mata pencahrian mereka untuk tetap survaive hidup dan melangsungkan kehidupannya.
Suku bajo darat mempunyai relasi atau hubungan sosial yang lebih luas dalam berinteraksi dan bersinggungan dengan masyarakat sekitar pinggir laut yang pada umumnya adalah suku bugis, bahkan menurut cerita ada putra raja Bugis yang mempersunting putri Bajo sebagai tanda bahwa interaksi antara suku bajo dengan suku bugis sudah sangat kuat dan berlangsung sejak jaman dahulu kala.
Masyarakat kepelauan Sapeken yang jumlah penduduknya kurang lebih 37.700 orang yang tersebar disembilan desa, mayoritas atau sekitar 90% adalah suku bajo darat atau same mereka sebagian besar berada di pulau Sapeken, Pagerungan kecil, Pagerungan besar, Sadulang besar, Sakala, Sasiil, Sepanjang Tanjung kiao’ atau Toroh, Pelat, Sepangkur, Sabuntan, dan beberapa pulau lainnya disekitar kepulauan Sapeken.
Sisanya adalah suku lain yang disebut bagai misalnya, bagai kangayan atau bagai madure suku ini tersebar di beberapa pulau seperti, pulau Saredeh, pulau larangan, pulau Sadulang kecil, pulau Saibus, dan pulau Paliat, dan pulau lainya disekitar kepulauan sapeken.
Tranlasi dan Reflesi Sosial Masyarakat Sapeken
Masyarakat Sapeken tempo dulu berdasarkan pengalaman dan cerita orang-orang tua atau hatotoe sangat kental dan menjunjung tinggi tradisi, adat dan kebiasaan nenek moyang yang berasal dari suku bajo yang sudah mengalami asimilasi kawin campur dengan suku bugis.
Ini terlihat dalam seni budaya, orang-orang Sapeken tempo dulu masih sempat melihat acara-acara pentas tari yang disebut nigal.
Nigal adalah sebuah bentuk tarian perempuan-perempuan bajo yang biasanya dipentaskan saat ada orang yang melangsungkan pesta pernikahan.
Tarian ini biasanya dipertunjukan pada malam hari dan disaksikan oleh banyak orang termasuk para laki-laki, sekarang ini kegiatan nigal yang dilakukan saat pesta perkawinan sudah berubah dan diganti dengan orkes yang juga mempertontonkan penyanyi-penyanyi perempuan.
-
Kuntau atau manca tradisi bajo kepulauan sapeken yang mulai hampir punah
Demikian juga dalam hal seni bela diri orang-orang Sapeken tempo dulu terutama anak-anak mudanya banyak yang mempelajari ilmu bela diri yang disebut manca atau kontau sehingga dulu banyak ditemui pendekar-pendekar tangguh seperti, daeng tape, daeng mile, wa Mudjeni, dan para pendekar lainnya.
Kegiatan manca juga biasanya dipertunjukkan saat-saat pesta perkawinan, sekarang ini kegiatan manca saat pesta perkawinan sudah jarang dilaksanakan dan kegiatan ini sudah mengalami proses translasi menjadi karate yang notabene adalah seni bela diri dari luar yang bukan asli seni beladiri orang bajo.
Kalau dalam masyarakat jawa kita sering mendengar pertunjukan wayang sebagai salah satu kesenian cerita yang mengisahkan tokoh-tokoh yang sangat dikagumi oleh orang-orang jawa pada umumnya yang juga sempat dijadikan salah satu media untuk menyebarkan islam oleh para wali.
Kesenian cerita yang mirip seperti ini juga dimiliki oleh masyarakat Sapeken yang disebut dengan iko iko atau pitoto, iko-iko dulu adalah bentuk cerita rakyat yang sangat digemari oleh masyarakat Sapeken karena seni cerita ini menceritakan tokoh-tokoh yang digemari. Sekarang iko-iko sudah amat jarang diceritakan dan keberadaannya nyaris hampir punah, padahal jika iko-iko ini dilestarikan dan banyak anak-anak muda yang mempelajarinya tidak mustahil dapat menjadi media dakwah yang dapat meluruskan pemahaman tauhid orang-orang sapeken seperti yang dilakukan oleh para wali di tanah jawa.
Dalam hubungan sosial muda-mudi masyarakat Sapeken tempo dulu tidak mengenal istilah pacaran atau lalakuan karena dianggap tabu dan keluar dari norma kesopanan, para pemuda hanya mengetahui karakteristik dan tabiat gadis yag akan mereka persunting dari orang dekatnya, perempuan-perempuan hanya bisa terlihat oleh laki-laki saat jajau dan pada saat ngireh bunteh.
Orang tua dulu kawin tidak melalui pacaran namun laki-laki langsung melamar melalui keluarga besarnya.
Perempuan-perempuan bajo tempo dulu sangat pemalu dan jarang keluar rumah, jika mereka ingin keluar rumah harus ditemani orang dekatnya dan sangat menjaga aib keluarga terutama keluarga besarnya.
Perempuan yang pergi ke rumah laki-laki atau ngunse dan orang yang kawin lari atau silaian dianggap membuat malu keluarga dan tidak akan dianggap lagi sebagai anak oleh orang tuanya.
Sekarang, perkawinan mesti didahului dengan pacaran atau lalakuan yang akibatnya banyak perempuan yang hamil diluar nikah, dan banyak anak yang tidak tau siapa ayahnya atau disebut anak bule.
Demikian juga dengan mas kawin atau panangak yang cenderung semakin besar yang dirasa sangat memberatkan pihak laki-laki meskipun panangak adalah merupakan simbol keluarga baik-baik dikalangan orang-orang bajo, namun kita harus tetap mempermudah dan tidak mempersulit pihak laki-laki sebagai mana yang diajarkan oleh agama.
Editor : Ghozi Ahmad