Tulisan Oleh: Uwa’ Datu’ Zulkifli Azir (Tokoh dan Budayawan Bajau)
Bangsa Indonesia mengenal dan menerapkan garis keturunan (nasab) yang berbeda-beda, ada yg berpegang pada nasab Ayah, ada juga yg bernasab dari pihak ibu. Apapun ketentuan nasabnya selalu dipegang teguh, dihormati dan diamalkan di setiap daerah.
Baca juga:
- Kegiatan Musyawarah Kabupaten (Muskab) Kekar Bajau Konawe Kepulauan yang Pertama, Terlaksana Sukses, Lancar, dan Meriah
- Erni Bajau: ODIS Bajo Cikal Bakal Organisasi Perempuan Suku Bajau Pertama di Indonesia
- Peran Pemuda dalam Pengembangan Sektor Pariwisata Daerah Konawe Kepulauan
- Sengkang Manusia Laut di Torosiaje
- Tradisi dan Makna-Makna Simbolik BUSANA ADAT MASYARAKAT BAJAU INDONESIA
- Erni Bajau Melakukan Sosialisasi Pentingnya Pendidikan ke Desa Bajau Sulaho Kabupaten Kolaka Utara
- Duata Mandi Mayah: Titual Pengobatan Alternatif Suku Bajau
- BUDAYA ANIMISME DAN DINAMISME MASIH KENTAL PADA MASYARAKAT BAJAU TOROSIAJE
- Suku Bajau Membuat Lapangan Futsal di Atas Laut?
Secara teoretis ragam nasab yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah sbb:
- Orang Tapanuli menganut faham Patrilineal. Nasabnya diturunkan dari pihak Ayah. Maka, apabila ayahnya Nasution, Lubis, Siregar, Harhap, atau Dalimunte, maka semua anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan, berhak menyandang marga dari ayahnya itu. Contoh nasab ini saya ambil dari masyarakat Batak Muslim di Tapanuli Selatan. Masyarakat Batak di kawasan lain di Sumatera Utara menganut faham yang sama seperti ini.
- Orang Padang menganut faham Matrilineal. Nasabnya diturunkan dari pihak Ibu. Nama Marga di alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau, diambil dari “nama suku”. Waktu itu hanya ada empat suku induk di Sumatera Barat yang kemudian diambil menjadi (layaknya) nama marga dan masih diamalkan sampai sekarang, yaitu: Koto, Piliang, Bodi, dan Chaniago. Maka, ketentuan nasab bagi masyarakat Minangkabau, apabila ibunya menyandang salah satu dari 4 nama marga itu, maka semua anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan, berhak menyandang marga dari ibunya itu.
- Orang Arab, itu fifty-fifty. Ada yang menganut nasab dari pihak Ayah, namun ada juga yang bernasab dari keduanya. Yang mengambil nasab dari pihak ayah didasarkan pada kesepahaman Jumhur Ulama’: Nisbatuhu ilaa abihi nasaban. (Nasabnya kepada ayahnya). Sedangkan yang menganut faham keduanya atau ayah dan ibu mempunyai kadar yang sama dalam nasab, didasarkan pada pandangan Ibnu Sikit yang mengatakan: “Nasab itu dari sisi Ayah dan juga Ibu”. Pemahaman seperti ini tidak diakomodasi (ditolak) oleh teori Barat.
Lalu bagaimana nasab kita masyarakat Bajau???
- Orang Bajau, menganut fahan Parental atau biasa juga disebut Bilateral. Maksudnya tidak masalah siapa yg berdarah Bajau, apakah ayahnya yang Bajau atau ibunya, maka semua anak-anaknya Bajau juga. Itulah sebabnya laju pertumbuhan penduduk di kawasan pemukiman masyarakat Bajau terkesan cepat bin laju alias Ngebut… Bajau tidak mengenal “marga” sebagaimana diamalkan di Tapanuli dan Padang, karena semua orang Bajau percaya bahwa kita semua berasal dari leluhur yang sama. Dalam bahasa Bajau di Philippine disebut: “Kita Sama bi kememon min dekayu’ kaemboan”. (Kita orang Bajau semua berasal dari leluhur yang sama).
Jadi kalau ada yg nanya Tikka mengga Kasamaanna?… Kole tikka ma Uwa’na kole du tikka ma Umma’na. Bo lamo kaseduanganna Sama, iru ne pangarang Sama Toto’.
Orang-orang Bajau yang terlahir dari perkawinan campur (asimilasi) Bajau dengan etnik asing (kebanyakan dari etnik China) dalam bahasa Bajau disebut BABA … Nggak Usah pakai contoh lah, parebeng Om Ellim ko iru ???
Setiap ada kata “Baba” di depan nama resmi ataupun “nick-name”, tentulah tidak salah lagi, mereka adalah nasab dari asimilasi Bajau dengan orang asing. Bisa dari ibunya bisa juga dari ayahnya. Sekali lagi nasab semacam ini terjadi karena secara teoretis Bajau menganut fahan “Parental” atau “Bilateral”.
Dalam bahasa Bajau, secara harfiah “Baba” itu artinya “gendong”. “Dibaba” artinya digendong di bagian depan penggendong, menempel pada bagian dada sehingga bisa saling merasakan detak jantung masing-masing.
Varian kata “baba” yaitu, kalau menggendongnya di bagian belakang “Rongo”. Kalau menggendongnya pada bagian bahu menggunakan alat pikul disebut “Lembar”.
Pertanyaannya adalah kenapa nasab asimilasi semacam itu oleh leluhur Bajau disebut BABA? Mengapa misalnya bukan Luppa’, Jagor, Antubah, atau Andakang? … Nah, Inilah yang oleh masyarakat luas disebut sebagai Kearifan Lokal. Jauh sebelum bangsa Indonesia mengangkat issu SARA dengan mengedepankan “Kearifan Lokal”, leluhur kita orang Bajau sudah lebih dahulu menerapkannya dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Inilah buktinya. BABA berarti gendong. Makna filosofisnya adalah suatu pesan moral dari leluhur orang Bajau: Perlakukan para Baba itu layaknya bagian dari darah daging kita sendiri. Rangkul mereka, dekap mereka, biarkan mereka merasakan detak jantung, kasih sayang dan cinta kasih saudaranya. Itulah sebabnya mengapa mereka disebut “Baba” … Singkatnya, Baba-baba iru dikarimanang, daha’ diboa sasa’.
Semoga bermanfaat.
Wassalam. ??