BAJAUINDONESIA.COM: Pada suatu hari dalam acara “International Conference on the Bajau/Sama Diaspora and Maritime” di Sabah, Malaysia, seorang Datu dari Philippine bertanya kepada saya (dalam bahasa Bajau Philippine): “Ai Sinama bang ma kaa sali’-sali’ denakan?” (Apa bahasa Bajau kalian (di Indonesia) SAMA-SAMA denakan?”
Saya bilang: “Dasali’na du isab maka kaa” (Sama sajalah dengan kalian).
Waktu itu saya membayangkan, seandainya saya nggak tahu apa padanan kata “Sama-Sama” dalam bahasa Bajau kita, tentulah akan terbersit dalam pikiran danakang Sama Philippine itu: “Oooo … Orang Bajau Indonesia ternyata nggak tahu membalas ucapan terima kasih”… Nah, janganlah hal ini sampai terjadi pada kita semua.
Baca Juga:
- Erni Bajau: ODIS Bajo Cikal Bakal Organisasi Perempuan Suku Bajau Pertama di Indonesia
- Peran Pemuda dalam Pengembangan Sektor Pariwisata Daerah Konawe Kepulauan
- Sengkang Manusia Laut di Torosiaje
- Tradisi dan Makna-Makna Simbolik BUSANA ADAT MASYARAKAT BAJAU INDONESIA
- Erni Bajau Melakukan Sosialisasi Pentingnya Pendidikan ke Desa Bajau Sulaho Kabupaten Kolaka Utara
- Duata Mandi Mayah: Titual Pengobatan Alternatif Suku Bajau
- BUDAYA ANIMISME DAN DINAMISME MASIH KENTAL PADA MASYARAKAT BAJAU TOROSIAJE
- Suku Bajau Membuat Lapangan Futsal di Atas Laut?
Pernahkan Anda melihat acara khitanan di kampung atau di pemukiman masyarakat Bajau? Atau mungkin ada di antara kita di group ini (Group WhatsApp Forum Bajau Indonesia-Red) yang pernah mengalami dikhitan di kampung? Coba perhatikan, pada saat khitanan itu berlangsung, terdengar suara lantang dari kamar khitan meneriakkan Shalawat: “Allahumma shalli ‘ala sayyidinaa Muhammad” … Lalu semua yang hadir, tua-muda, besar-kecil membalas dengan meneriakkan kata SALELE … Ucapan sahut-sahutan itu diulang sampai tiga kali, dan pada shalawat yang ke-3 ditambahkan kata-katanya menjadi: “Allahumma shalli ‘ala sayyidinaa wa habibina wa syafi’ina wa maulana Muhammad … ” Lagi-lagi orang rami meneriakkan kata SALELE.
Almarhumah Ibu Saya, Hj. Sitti Zainab Al-Habsyi (di kampung dikenal Haji Saena)… Allahum maghfir lahaa… semasa masih tinggal di Raha, dikenal sebagai “sandro” yang banyak menolong orang melahirkan dan mahir melakukan khitan pada anak-anak perempuan. Di Raha waktu itu ada dokter Lemens orang Belanda yang sering datang ke rumah kami minta tolong pada ibu saya saat menghadapi kasus-kasus melahirkan yang tidak bisa ditangani secara medis.
Penasaran dengan kata SALELE pada setiap acara khitanan di kampung itu, saya tanyakan pada ibu, “Ai ko battuahna Salele iru?” (Apakah artinya SALELE itu?-Red)… Dia jelaskan: “Nggai daka te SALELE. Shallu ‘alaiih. Bo indah battiru ne della’ta kita Sama, tapa dadi SALELE” (Bukan Ta SALELE tapi Shallu ‘alaiih, karena sudah begitu kalau lidah kita orang Bajau, dan menjadi SALELE-Red)
“Bo ai ko iru battuahna?” (Lalu apakah artinya-Red)
“Aha’ nyanggutang te iru. “Shallu ‘alaiih” battuahna ma disanggutang iru tappodo je salama’ Nabitta, salama’ du baka kita memong” (Kita menjawabnya Shallu ‘alaiih, artinya orang yang kita jawab salamnya itu kita doakan supaya selamat, dan selamat juga untuk kita semua-Red)
Saya garis bawahi kata nyanggutang (sahutan/jawaban-Red) yang pada waktu itu menggunakan kata “salele” kemudian berubah menjadi SALIH, SALI’ dan ada juga yang “nyanggutang” (menyahut/menjawab-Red) menggunakan kata yang biasa kita dengar sehari-hari IYYE’ (artinya YA atau IYA).
Mari kita lihat landasan teoretisnya, bagaimana suatu kata dalam suatu bahasa bisa berubah berdasarkan etimologi (Ilmu Bahasa). Dikatakan: “Suatu kata dalam suatu bahasa bisa berubah disebabkan oleh 3 aspek: (1) Waktu (time); (2) Jarak (distances); dan (3) Pengaruh bahasa lokal (local influences)”.
Saya berpendapat teori ini pas sekali dengan fenomena Bahasa Bajau. Coba kita perhatikan bagaimana orang2 Bajau di Indonesia, mulai dari bagian utara Sulawesi: Toli-Toli, Salumpaga, Torosiaje hingga ke Pulau Nain. Bandingkan dengan Bahasa Bajau di Sulawesi Tengah, Pagimana, Bongganan. Perhatikan juga Bahasa Bajau di Pulau Togean. Terus ke ke arah Selatan: Selayar, lalu nyebrang ke Sapeken, Bali, NTB dan NTT. Pengucapan, cara pengucapan (Pronouncing atau Tajwid) saat mereka menggunakan Bahasa Bajau beda-beda di setiap daerah. Fenomena itu pas dijelaskan menggunakan tools teori linguistik.
Fenomena semacam itu tidak saja terjadi dalam bahasa Bajau, kalau kita cermati, bahasa Indonesia juga mengalami hal serupa. Contoh misalnya kata KENAPA:
- Di Palembang pengucapan (tajwid)nya menjadi KENAPO;
- Di Jakarta menjadi KENAPE;
- Di Bandung menjadi KENAPAH (pake H di belakang);
- Di Jawa Tengah dan Timur menjadi MENOPO;
- Di Manado menjadi KIAPA SOH…
- Dll.
Nah, manakala orang Palembang, Jakarta, Bandung, Jawa, dll. itu kumpul, semua menggunakan bahasa Indonesia, semua ngerti kok. Bisa faham. Fenomena itu pulalah yang terjadi dalam bahasa Bajau, sehingga kalau dilihat berdasarkan landasan teori-nya, pas banget.
Kembali pada kata SALELE, SALIH, SALI’ dan IYYE untuk menyahut (nyanggu’). Dasar hukumnya adalah WAJIB. Ketika seseorang mengucapkan kata “Terima Kasih” (Masukkor) itu adalah bentuk penghargaan buat kita. Maka wajib hukumnya untuk menjawab dengan salam terbaik. Sebagaimana firman Allah SWT: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. (Q.S. An-Nisa : 86).
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara kita nyanggutang kata “Masukkor“? Apa kata yangg pas agar kita tidak diberi label “orang yg nggak tau berterima kasih”???
Referensinya adalah uraian di atas. Maka tinggal pilih:
Kalau kita gunakan (serap) kata SALELE terlalu jauh jarak antara pronouncing (tajwid) dengan makna kata Shallu ‘Alaiih. Maka biarkanlah kata SALELE itu tetap digunakan pada acara2 tertentu, semoga suatu waktu nanti ada yg bisa mengubahnya ke jalan yg benar menjadi Shallu ‘Alaih.
Kalau kita gunakan kata SALIH atau SALI’ menjadi salih-salih atau sali’-sali’ tajwid ini terdengar jelas lebih dekat dengan kata Shallu ‘Alaiih. Sehingga “nyangutang” yg demikian itu bernilai mengandung do’a dan harapan kepada Allah. Selain itu, kata ini juga digunakan oleh masyarakat Bajau di Philippine dan di Pantai Timur Sabah, malaysia. Sehingga suatu saat apabila kita jumpa dengan denakan2 itu, ketika mereka mengucapkan kata MAGSUKUR (Philippine) atau MAGSUKUL (Malaysia) kita jawab: salih-salih danakang atau sali’-sali’ danakang … Pas. Mereka faham itu.
Selanjutnya, kalau kita gunakan kata IYYE’ jelas ini melanggar hukum sebagaimana dalilnya saya kutip di atas. Firman Allah diatas mengatakan balaslah (sanggutannu) dengan yang lebih baik, atau minimal serupa.
“Nyanggutang” dengan kata IYYE itu terjadi di kalangan masyarakat Bajau di Thailand (Mokken dan Moklen). Ini karena mereka terpengaruh oleh Budaya Thai, ketika orang menyebut kata “Khob khun khrab” (terima kasih) dijawab “dai khrub” (Ya, Iya).
MASUKKOR baka SALIH-SALIH, 2 buku-baong iru para danakanta Sama katonanna bo nggai palilinganna. Birranganna ngala tikka ma baong bagai. umpama na battitu: ( MASUKKOR dan SALIH-SALIH, dua suku kata itu, banyak saudara kita yang tahu, namun tidak dipedulikannya. Dia lebih memilih menggunakan bahasa dari bahasa orang nonbajau, contohnya begini:-Red)
Tunggu – Menunggu, Pakaleta para danakanta Sama yo’na TAJAH – NAJAH… Iru diala tikka ma baong Buges TAJENG – MATTAJENG… Padahal nia baong Samana, bo nggai ridda dipalilingang: agat – ngagat – agatan (Tunggu-menunggu, kita mendengar saudara Bajau kita mengatakan Tajah-Najah…Kata itu diambil dari Bahasa Bugis TAJENG-MATTAJENG…Padahal ada bahasa Bajau-nya tapi tidak dihiraukan: agat=tunggu, ngagat=menunggu, agatan=tunggu, pangagatan=penungguan-Red))
Haa, battiru ne du buku-baong MASUKKOR baka SALIH-SALIH iru (Nah, begitu juga dengan jenis kata MASUKKOR dan SALIH-SALIH itu-Red)
MASUKKOR Para sikkali takaleku aha’ totoata ma lahat baong: “Masukkor ne kita ka Papu Allah Ta’ala. Cobananta patilowanta ai ko battuahna masukkor iru? … Yo’na “bersyukur”. Petu ta muka Kamus Bahasa Indonesia (KBI) ai battuahna SYUKUR – BERSYUKUR… Iru ne Terima kasih – berterima kasih. ( MASUKKOR banyak sekali saya mendengarpara tetua kita di kampung mengatakan: “Bersyukur kita kepada Allah Ta’ala.Mari kita coba bertanya, apakah kata masukkor itu? … jawabnya “bersyukur”. Petu ta muka Kamus Bahasa Indonesia (KBI) apa artinya SYUKUR – BERSYUKUR… ?Itu lah (artinya) Terima kasih – berterima kasih.
Petu ta nginda’ lahat dambila’ batingga danakanta Sama baong TERIMA KASIH: ((Mari kita melihat kampung sebelah (daerah lain), bagaimana saudara Bajau kita mengatakan TERIMA KASIH)):
- Sama ma Malaysia yo’na MAGSUKUL (Bajau di Malaysia mereka mengatakan MAGSUGUL-Red)
- Sama Philippine yo’na MAGSUKUR (Bajau Philipppine mereka mengatakan MAGSUKUR)
- Batingga Sama Indonesia? Tarima kasi’ … Wuih, baong Buges ampa te iru. Baong Mangkasar du. (Baong malayu du Uwa’ Zul-Red) Dadi? Masukkor iru ne battuahna “Terima Kasih”… Takatonang, masi dipabaong ale aha totoata, bo nggai dipalilingang. {artinya: Bagaimana Bajau Indonesia? Terima kasi’…Wuih, bahasa Bugis lagi itu. Bahasa Makasar juga, (Bahasa Indonesia juga Pak Zul-dari Redaksi) jadi? Masukkor itu artinya ‘Terima Kasih”…Diketahui, masih diucapkan oleh para tetua kita, tapi tidak dipedulikan}
SALIH-SALIH atawa SALI’-SALI’ Battuahna lamo baong Malayu “Sama-Sama”… Ai ampa ko itu??? ( SALIH-SALIH atau SALI’-SALI’ artinya dalam bahasa Indonesia “Sama-Sama”… lalu apa lagi???
Haa, battiru ne danakang (Nah, demikianlah Danakang)
Semoga bermanfaat.
Wasaalam. ??♥?